Selasa, 27 Oktober 2015

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah

Definisi, Praktik Riil Dari Konsep Teori Akad Murabahah, Sistem Operasional Meliputi Gambar Dan Narasi Serta Angka Riil Dari Bank Terkait Produk Pembiayaan Murabahah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah
Dosen Pengampu: Gita Danupranata, S.E., M. Si

Disusun oleh:
Dian Purnami (20130730365)
Ika Aprilliana Pratiwi (20130730344)
Wening Pramesti (20130730370)
Andari Giswara (20130730200)
Poppi Siti Ropiah (20130730351)

Jurusan Ekonomi Dan Perbankan Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun Ajaran 2015/2016




1.     Pengertian  Akad Pembiayaan Murabahah
Secara bahasa murabahah diambil dari kata rabina-yarbahu-ribhan-warabahan-warabahan yang berarti beruntung atau memberikan keuntungan. Sedang kata ribh itu sendiri berarti suatu kelebihan yang diperoleh dari produksi atau modal (profit). Murabahah berasal dari mashdar yang berarti “keuntungan, laba, atau faedah”.
Secara istilah, murabahah ini banyak didefinisikan oleh para fuqaha. Jual beli murabahah adalah jual beli dengan harga jualnya sama dengan harga belinya ditambah dengan keuntungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan pembiayaan murabahah adalah transaksi jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, dengan penentuan harga jual yaitu harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (Margin), sesuai dengan kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah.
Adapun mekanismenya sebagai berikut:
1.      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
2.      Bank menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara hutang.
3.      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntunganya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
4.      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
5.      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
Persyaratan Murabahah yaitu:
1.      Bank dan nasabah harus mengadakan akad murabahah yang bebas riba.
2.      Barang yang diperjual-belikan tidak termasuk kategori yang diharamkan oleh syariat islam.
3.      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
4.      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (Pemesan) dengan harga jual senilai harga perolehan ditambah keuntungannya.
5.      Nasabah membayar harga yang disepakati sesuai jangka waktu yang disepakati.
6.      Bank dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad melalui perjanjian tambahan dengan nasabah.
7.      Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
8.      Jika bank menerima permintaan nasabah akan suatu barang atau aset, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesan tersebut dan bank harus menyempurnakan jual beli yang sah dengan pedagang tersebut.

Syarat sah pembiayaan murabahah terdiri dari :
1.        Pihak yang melakukan akad harus cakap hukum (Baligh/dewasa) dan saling ridho (tanpa paksaan).
2.        Barang (objek yang dibiayai) adalah:
a.       Barang itu ada meskipun tidak ditempat
b.        Barang itu milik sah penjual/bank
c.        Tidak termasuk kategori yang diharamkan sebagai objek jual beli.
d.        Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual.

2.     Praktik Riil Konsep Akad Pembiayaan Murabahah “Study Kasus Bank Mu’amalat
PT. Terus Maju membutuhkan dana untuk pembangunan tower telkomsel, pada tanggal 17 maret 2008. Untuk pembangunan ini, PT. terus maju harus menyediakan dana Rp. 750.000.000. melihat kondisi keuangan PT. Terus Maju mengalami kesulitan untuk melakukan pembelian bahan bangunan untuk pembangunan tersebut. PT. Terus Maju hanya memiliki kemampuan uang sebesar rp. 5.500.000 perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, PT. Terus Maju mendatangi Bank Muamalat untuk mengajukan permohonan pembiayaan dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangan. Analisis bank:       

Berikut adalah analisis bank dalam memberikan pendanaan dengan memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan financial nasabah.

- Harga barang dari pemasok                               : Rp. 750.000.000
- Kemampuan keuangan nasabah per bulan        : Rp 5.500.000.
- Harga jual barang kepada nasabah                    : Rp. 805.000.000.
- Periode pembiayaan                                          : 10 bulan.

Dengan analisis tersebut, maka bentuk pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada PT. Terus Maju adalah dengan menggunakan akad murabahah muajjal (bayar cicilan), harga jual Rp. 805.000.000, jangka waktu 10 bulan, dan angsuran Rp. 5.500.000, perbulan.

Realisasi pembiayaan
Nama                                             : PT. TERUS MAJU.
Rek                                                : 501.00116.10.
Plafond                                         : Rp. 750.000.000.
Cadangan biaya administrasi        : Rp. 11.250.000.
Cadangan biaya materai                : Rp. 60.000.
Cadangan biaya notaris                 : Rp. 6.000.000.
Cadangan asuransi kebakaran       : Rp. 100.000.

*persyaratan atau dokumen pada realisasi pembiayaan pada PT. Terus Maju, ada pada lampiran yang tidak terpisah dari pembahasan contoh kasus tersebut

Analisis Masalah
Pada dasarnya konsep dasar murabahah dalam fiqih tidak selamanya bisa murni diterapkan dalam pelaksanaanya di Bank Syari’ah misalnya Bank Muamalat. Hal ini mengingat perkembangan jaman dan perkembangan teknologi yang menurut Bank Muamalat bekerja dengan efektif dan efisien guna meningkatkan pelayanan kepada nasabah atau masyarakat pengguna jasa perbankan.
Untuk itu dalam praktiknya, murabahahyang murni sesuai fiqih muamalah dimana penjual dan pembeli bertemu langsung, masing-masing membawa barang dan uang, hal ini berbeda dengan prakteknya di Bank Muamalat. Dimana Bank Muamalat tidak mempunyai persediaan semua barang yang dibutuhkan oleh nasabah, melainkan bank akan membeli dahulu dari suppliersetelah ada permintaan dari nasabah. Sistem pembayaran pada murabahahini dilakukan secara angsuran dan bukan dengan cara pembayaran sekaligus pada jatuh tempo (sesuai fiqih muamalah), hal ini dikarenakan untuk menghindari resiko adanya kredit macet (non performing loan), dan juga umumnya nasabah yang datang ke bank menginginkan kredit dengan pembayaran secara angsuran.
Asumsinya, kalau nasabah yang mampu dengan pembayaran tunai pasti mereka datang langsung ke supplier mengapa harus repot-repot datang ke bank. Dan kalau dilakukan dengan cara sekaligus pada jatuh tempo, ini akan memberatkan nasabah. Padahal pembiayaan di Bank Muamalat minimal Rp. 50.000.000 (cukup besar). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu karyawan Bank Muamalat, murabahah dengan sistem angsuran atau cicilan (bai’ bitsaman ajil) ini merupakan diverifikasi dari murabahah sendiri dan justru dengan pembayaran secara angsuran inilah, produk ini degemari masyarakat.
Dalam pembelian barangnya, Bank Muamalah umumnya dilakukan dengan mewakalahkan kepada nasabahnya sendiri dan nasabah wajib menyerahkan bukti-bukti pembelian kebutuhan barang tersebut (seperti kwitansi, invoice, dsb). Perjanjian ini dibuat pada waktu akad sebelum realisasi pembiayaan dana, dan secara tertulis terdapat pada persyaratan perjanjian pembiayaan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan pembiayaan. Akad wakalah dalam pembelian barang ini dilakukan karena keterbatasan tenaga yang ada dan juga agar lebih efektif dan efisien, hal ini sah-sah saja asalkan tidak melanggar aturan fiqih yang ada.
Langkah pemberian Wakalah kepada Nasabah inilah yang oleh sebagian akademisi dianggap bahwa Bank Syariah terkadang kurang bijak dan tidak hati-hati menerapkan media Wakalahpembelian Barang ini. Karena Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 (26 Dzulhijah 1420 H) telah menetapkan bahwa jika Bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank. Dengan kata lain, pemberian kuasa (Wakalah) dari Bank kepada Nasabah atau pihak ketiga manapun, harus dilakukan sebelum Akad Jual beli Murabahah terjadi. Dalam kenyataannya, Akad Murabahah sering kali mendahului pemberian Wakalah dan dropping dana pembelian barang. Bagaimana mau dikatakan barang telah menjadi milik Bank, jika dropping dana pembelian barang saja dilakukan setelah akad Murabahah ditanda-tangani.
Bank Indonesia (BI) nampaknya cukup tegas dalam hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 Nopember 2005 tentang standarisasi akad, BI menegaskan kembali penggunaan media Wakalah dalam Murabahah pada pasal 9 ayat 1 butir d yaitu dalam hal Bank mewakilkan kepada Nasabah (Wakalah) untuk membeli barang, maka akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank. Bahkan dalam bagian penjelasan PBI tersebut ditegaskan bahwa Akad Wakalahharus dibuat terpisah dengan Akad Murabahah. Lalu ditegaskan, yang dimaksud secara prinsip Barang milik Bank dalam Wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kwitansi pembelian. Proses realisasi penanaman dana murabahah dilakukan oleh bagian OP dengan memperhatikan kelengkapan dokumen yang meliputi; SPRP, surat sanggup, jadwal angsur, STTU, surat kuasa debet, surat fasilitas pembiayaan, perjanjian pembiayaan, keterangan tentang agunan.

3.     Sistem Operasional Akad Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah


Ketentuan Murabahah
(Fatwa DSN : 04/DSN-MUI/IV/2000)

1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank
2) Jika bank menerima => ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang
3) Bank menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya, karena secara hukum perjanjian tsb mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli
4) Bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan
5)   Jika nasabah menolak membeli barang, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut
6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7) Bank boleh meminta jaminan kepada nasabah sebagai bentuk keseriusan dari akad yang akan dilakukan
8)   Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :
a. .Jika nasabah membeli=> ia tinggal membayar sisa harga
b. Jika nasabah batal membeli=> menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian bank; dan jika tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.




4.     Angka Riil Produk Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat Indonesia

Prosentase Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia





Tahun
Mudharabah
Musyarakah
Murabahah
Ijarah
2010
1.364.534.388,00
5.979.043.571,00
6.441.601.218,00
614.605.009,00
2011
1.498.296.551,00
8.176.819.533,00
10.042.862.193,00
325.455.607,00
2012
1.985.586.533,00
12.819.798.193,00
16.140.183.597,00
178.213.960,00
2013
2.225.162.877,00
18.673.772.593,00
19.366.212.988,00
188.692.010,00
2014
1.723.618.638,00
19.549.525.035,00
20.172.146.338,00
250.643.907,00


Data diatas menunjukkan bahwa setiap tahunnya, Bank Muamalat Indonesia mengalami peningkatan secara terus menerus. Terutama pada produk murabahah yang cukup banyak diminati oleh masyarakat. Tapi secara keseluruhan hampir semua produknya mengalami peningkatan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar